Tentang Kemarin
Sebelum semuanya dimulai, tepatnya sebelum aku membuat masalah yang paling fatal, semuanya nampak damai , tenang dan penuh iman. Aku pribadi merasa sebagai wanita yang tidak punya masa depan, bodoh, tidak tahu apa-apa, mudah diperalat, depresi, tertekan ,aku tidak pernah percaya kepada diriku sendiri, dan ketika itu adalah titik terparah disaat aku bingung tentang kehidupan ini.
Disaat itu juga, aku merasa tak ada yang peduli dengan hidupku, bagaimana masa depanku, semuanya kosong, satu-satunya pilihan ketika itu adalah mempersilahkan waktu untuk menghabisiku dengan kejam, masa bodoh, benar-benar masa bodoh , aku tak bisa berfikir sehat waktu itu.
Disaat itu juga, aku ditanya tentang cita-citaku, sederhana!!!, cita-citaku hanya ingin membahagiakan orang tuaku, aku ingin mengangkat derajat ke-2 orang tuaku, yang selama ini selalu medapatkan perlakuan tak adil dari saudara-saudaraku, aku sakit melihat Ayahku selalu menjadi orang yang mengalah dan tertindas, batinku tersilet melihat Ibuku selalu dikesampingkan , ke dua orang tuaku adalah orang yang berlatar belakang “perih”, Ibuku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah , hidup serba kekurangan dengan kasih sayang seorang Ibu yang keras dan terbatas, berbagi dengan ke 9 orang anaknya yang selalu bersaing, sementara Ayahku adalah anak laki-laki yang tertutup, tidak banyak bicara, tidak terlalu bahagia dan tidak pula terlalu sedih, Ayah paling sabar yang menerima segala sesuatunya dengan ikhlas, aku merasakan perjuangan Ayahku tidaklah gampang, bahkan tidak bisa terbeli oleh apapun. Karena latar belakang ini, aku harus berusaha lebih, berusaha untuk menjadi yang bisa diandalakan, aku tak mau mereka harus bersusah payah lagi, cukup aku sekarang yang berjuang, meneruskan semuanya, mencukupi segala kekurangan, jangan mereka. Mungkin tidak hanya aku yang bercita-cita seperti itu, bisa jadi semua anak didunia ini, ingin memulyakan kedua orang tuanya, dengan cara mereka sendiri.
Tapi,.. sejenak pikiranku terhenti pada kata tapi, sepertinya cita-cita sederhanaku, tak sesederhana kenyataannya, aku bercermin melihat aku yang sebenarnya, aku yang tidak pernah sanggup belajar dengan fokus, aku yang selalu merasa gagal dan merasa “nothing” menjadi mahasiswi disini, aku hanya bisa menghabiskan uang ayahku, aku tak berprestasi disini, aku selalu bolos dan mengutuk semua ini, aku selalu berteriak dalam hati, “Jiwaku bukan tercipta sebagai engineer tapi MUSISI”
Dan tapi, orang tuaku tak pernah mau memberikan restunya untukku, mengikhlasku tumbuh sebagai seorang musisi , meskipun hanya dianugerahi bakat alam, aku tak pernah meminta dengan sekolah atau guru musik, padahal aku sangat yakin , dengan bakat dan semua yang ku bisa, hidupku bisa terjamin, bukan hanya hidupku, tapi hidup ke-2 orang tuaku. Aku pikir notabene Ayahku yang religius , cukup membuatku paham, adalah tabu dan mungkin aib memiliki anak perempuan yang berprofesi sebagai musisi, ya musisi, karena jiwaku adalah musik sepenuhnya. Bukan yang lain, bukan boiler, bukan listrik, bukan mesin bubut, bukan heat exchanger, bukan kondensor atau kompresor, bukan pula turbin angin dan solar water heater , yang membuatku pusing setengah mati.
Disanalah semuanya dimulai, disaat perkuliahanku terasa “menjenuhkan dan menakutkan” nilai-nilaiku tak ada yang natural, tiap semester adalah ketidak jujuran, UAS adalah momok yang menakutkan bagi kami, taruhannya Drop Out, tak terbayang seberapa kecewanya orang tua kami, jika gagal lulus melewati tiap semesternya, biaya kuliah disini mahal, dan konon katanya lulusan Politeknik kami menjamin masa depan para pelajarnya, siapa yang tidak kecewa jika gagal ditengah jalan, bahkan ada pepatah yang bilang “menantu idaman adalah menantu lulusan politeknik ************* sensor, hehe..ya begitulah, UAS, selalu jadi sejarah , bahkan sebagian dari kami selalu datang paling awal untuk mendapatkan posisi paling strategis, sebelum matahari terbit kita sudah standby di gerbang gedung, menunggu teknisi yang akan membuka gerbang gedung, atau masuk lewat jendela kelas yang sempit hingga temanku Dira, terjepit dicelah jendela, siapa yang tidak menertawakan kalau begini? Ya aku bahkan tidak sempat mandi, karena takut duduk didepan dosen, kalau sudah begini nilaiku terancam. Dan itu artinya Drop out. Aku benar-benar merasa muak sebenarnya, terus dipermainkan rasa takut, tapi kenyataannya aku memang takut tidak lulus, bagaimana perasaan orang tuaku nanti? Orang tuaku bisa jadi bahan gosip orang sekampung, gara-gara anaknya DO, dan bla bla bla. Aku tak menginginkan hal ini, aku terus bertahan meskipun getir, dengan segala ketidaktahuan tentang apa yang aku pelajari.
Sebenarnya tidak semua teman sekelasku berkelakuan “pecun “ seperti itu, ada Selma yang sholehah anti nyontek dan bahkan menangis kalau dikasih contekan, kelas kami adalah kelas yang heterogen, kelas buangan yang frustasi, kebanyakan kami adalah orang-orang yang dipaksakan kehendaknya, kelas ini seolah menjadi penampungan orang-orang autis yang briliant, semua karakter ada disini, ada Aku yang mencintai seni, dan orang bilang aku adalah seniman, Rerin yang gagal meraih keinginanya sebagai Juru masak, Veny yang bercita-cita sebagai presenter, fika yang terobsesi menjadi programmer, bahkan karena keahliannya dia dijuluki sebagai Roy Suryo,dengan perawakan jangkung, ceking , sedikit botak dan kaku hingga tak heran julukan yang melekat tak hanya Roy Suryo tapi Robot, karena jalannya seperti Robot yang tak berperasaan, bicaranya nyeletuk dan asal-asalan tapi disamping itu dia baik dan setia kawan. Ada Ara si jago desaign bercita-cita membuka distro, ketika jam kuliah dimulai waktunya habis untuk membuat motif-motif drop dead setelah itu dijual kepada orang-orang bule, Ara bilang, orang bule tidak pernah culas, mereka selalu patuh pada kontrak dan kesepakatan , tidak seperti orang-orang kita yang suka membajak, ada Selma yang setiap kata-katanya diakhiri “Astagfirullah” dia paling religius, tapi bisa membaur, dakwahnya pas, tidak pernah menyakiti, pokoknya sebagai sosok muslimah jilbaber dia asik dan membuat kita nyaman, tidak ada sedikitpun pikiran so munafik atau bla bla bla, ada Aldo si tukang dagang, ditas nya penuh barang-barang selundupan seperti gorengan, coki-coki dan cemilan selundupan lainnya, selundupan? Ya, karena siapapun tidak diperbolehkan membawa makanan ke kelas, ada fia yang selalu senang menjadi bendaraha karena cita-citanya yang ingin kerja sebagai pegawai bank, yang jelas kelas kami seperti pelangi, semua karakter ada disini, seniman, ustad, ustadzah, pedagang, desaigner, petani, penyiar, dan koki, dan mereka semua yang membuatku betah di kelas. Pokoknya di kelas ini, tidak ada yang culas, tidak ada tokoh antagonis. Walau kadang-kadang selalu mendapat masalah dari jurusan, karena sistem kompromi kita yang menjengkelkan para dosen, kompak dijalan yang kurang benar.hehe…hidup mahasiswa!!!
Hari-hari dikampus adalah ketidakpastian, mencari kesenangan disini bukanlah hal yang mudah, masuk jam 7 pulang jam 5 sore, buku catatan yang tak boleh terlewat, belum lagi tugas yang membuat kita tak pernah bisa tertidur nyenyak setiap malam, harus mengerjakan laporan praktikum, aturannya ketat dan “gak gue banget”, perempuan sepertiku mana tahan dengan jalan hidup seperti ini, hidup dibawah tekanan, kalau bukan karena solidaritas rekan kerja satu tim, mungkin sudah kabur, bagaimanapun aku harus tanggung jawab untuk kerja rodi.
Lambat laun keadaan seperti ini membuatku melemah, pelan-pelan aku mulai nakal, nakal dalam artian kreatif, bukan nakal seperti ayam kampus, pada hari-hari tertentu, hari yang menurutku tepat untuk kabur, aku pergi kemana musik berbunyi, mengikuti setiap festival berhadiah, aku gila hadiah karena aku butuh, aku haus prestasi bermusik karena aku ingin mengobati kekecewaanku dengan kuliahku yang sekarang, setidaknya ada hal yang masih membuatku percaya bahwa aku bisa berjalan tanpa kuliahku yang sekarang , dan untuk sementara ini pandanganku agak sedikit matrealis, karena hidup butuh uang, dan uang aku peroleh dari profesiku sebagai musisi. Bukankah menyenangkan ketika hoby kita dibayar?
Keadaan seperti ini terus berjalan ibarat flywheel, semuanya semakin tak terkendali, meski aku sudah mencoba untuk berhenti, aku tak memikirkan pentingnya kuliahku yang sekarang,terlanjur terlena dengan semua yang kudapatkan, bahkan aku berani mencuri waktu untuk ikut kuliah di salah satu sekolah tinggi seni ternama di kota Bandung, waktu-waktuku habis disana, untuk belajar seni yang sesungguhnya, disana kudapatkan kebebasan jiwa, dan penghargaan yang membuatku damai, tak ada hitungan, tak ada laporan, tak ada rebut-rebutan kursi saat UAS, tak ada jas lab dan wear pack,yang ada adalah pagelaran, pasanggiri dan karawitan, karakterku yang nyeleneh dan berdandan aneh sepertinya cocok sekali dengan kampus ini, aku mencintai kampus ini, kampus pencetak seniman-seniman besar di negeri ini.
bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar